Peringatan Hari Perempuan Sedunia masih terus bergaung jelang akhir Maret semenjak dibunyikan gongnya per 8 Maret lalu dengan iringan kampanye #BreakTheBias. Perayaan tahunan yang jadi momentum kolektif pergerakan perempuan ini tak lepas dari catatan kritis bahwa pesta ini bukan milik perempuan cis-gender saja, melainkan slot kakek tua juga perempuan interseksional atau golongan LGBTIQ.
Dukungan untuk LGBTIQ menjadi genting di tataran metode heteronormatif yang ditandai rentetan hukum diskriminatif oleh Pemerintah. Teranyar, pada tanggal 21 Desember 2021, Dewan Perwakilan Rakyat Tempat (DPRD) Kota Bogor dan Walikota Bogor, Bima Arya, sudah memastikan Aturan Tempat (Perda) perihal Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (p4s).
Perilaku penyimpangan yang dimaksud dalam Perda ini yakni homoseksual, lesbian dan waria sebagaimana termaktub pada Bab III pasal 6. Secara ilmiah, Perda ini bertentangan dengan Tanda Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Di dalam PPDGJ III Kemenkes RI nilai F66 diceritakan “orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan”. Kecuali itu, International Classification of Diseases revisi ke-11 juga mengungkapkan bahwa transgender bukan ialah gangguan kejiwaan.
Maraknya perbuatan nirmanusiawi kepada golongan LGBTIQ menjadi alasan besar kenapa pentas Hari Perempuan Sedunia juga cocok menjadi pentas bagi LGBTIQ. Lebih-lebih, identitas gender perempuan bukan cuma dapat diistilahkan dalam format ragam kelamin, tetapi identitas dari individu masing-masing.
“Seandainya terkait sama IWD, dikala bicara perempuan, kita wajib interseksional, sebab dengan perspektif interseksional kita dapat lebih membaca kerentanan yang berjenis-jenis,”
“Yang saya soroti di sini dari golongan minoritas gender dan seksualitas, sebab kadang dikala kita bicara perempuan kita lupa bicara soal LGBTIQ juga, sebab di situ juga ada perempuan transgender (transpuan) atau waria, atau siapa bahkan sahabat-sahabat mengidentifikasikan dirinya, selama ia mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan ia yakni perempuan,” tegas Himas Nur, salah satu peserta aksi dikala diwawancarai pasca orasi pada perayaan Hari Perempuan Sedunia di Semarang, Selasa (8/3).
Berdasarkan Himas, pengorbanan atas nama perempuan masih kurang merangkul gender minoritas lainnya. Walaupun, kans untuk mengucapkan keresahan dari golongan LGBTIQ sendiri terbilang sempit. Tak banyak ruang-ruang aksi yang bisa dihasilkan arena bersuara golongan minoritas gender sebab seperti itu maskulinnya aksi-aksi yang terkait dengan politik kenegaraan di Indonesia.
“Ini yang kurang diucapkan, perempuan transgender, perempuan golongan orientasi seksual minoritas, misal perempuan lesbian, perempuan biseksual, perempuan aseksual, perempuan panseksual, dan lain sebagainya. Menurutku ini penting juga IWD jadi ruang buat sahabat-sahabat golongan gender dan seksualitas, sebab di mana lagi kita LGBTIQ dapat punya ruang aman sendiri. Seumpama dalam demonstrasi saja masih maskulin, enggak mungkin kita contohnya demo Wadas sambil bawa bendera pelangi gitu, kan,” sebut Himas diakhiri tawa renyah.
Persoalan yang dialami golongan LGBTIQ tak lepas dari stigma buruk kepada golongan gender nonbiner. Kuasa heteronormativitas yang berkembang di masyarakat berdasarkan Himas juga diperparah oleh media. Pers yang semestinya menjadi pilar keempat demokrasi dan mengucapkan keadilan gender serta hak asasi manusia justru kerap kali membingkai LGBTIQ dalam pemberitaan yang diskriminatif dan bernada negatif.
“Istiadat atau kuasa heteronormativitas ini kan suatu metode kuasa yang melanggengkan bahwa cuma ada satu orientasi, itu diskriminatif dan represif; cuma ada laki-laki dan perempuan saja, atau jika tak cuma ada heteroseksual saja,”
“Belum lagi stigma dan framing media, jika pelakunya gay, yang disorot gaynya, tetapi kalo pelakunya cis-male, laki-laki, perempuan yang hetero, enggak ada di-highlight dengan identitas gender cis-gender perempuan atau laki laki. Jadi peran peran sebagian pihak juga perlu ditata,” kata Himas.
Menunjang RUU TPKS yang Ramah Gender dan Korban
Dalam orasinya, Himas berkeinginan slot garansi 100 pada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang berperspektif korban. Dengan seperti itu, setidaknya tercipta payung peraturan yang secara pelan dapat mendobrak stigma yang kerap kali dilabeli pada golongan LGBTIQ, padahal Himas mengiyakan bahwa perjalanan malahan masih belum sanggup membuka pintu gerbang.
“Seandainya kemudian RUU TPKS dapat dilegalkan, harapannya payung aturannya telah ada, nih, padahal implementasinya pasti masih butuh profesi rumah yang banyak, peresmian itu kan baru pintu gerbang, bukan jalan akhir,”
“Melainkan misal udah ada payung aturannya semoga jadi agak sedikit hancur stigmanya, sebab masih banyak stigma LGBTIQ itu pelaku kekerasan seksual, sebab yang perlu kita kenal bareng-bareng, kekerasan seksual itu dapat dilaksanakan oleh siapa saja, enggak terbatas sama orientasi seksualnya dan identitas gendernya,” terangnya.
Terlalu banyak ranjau untuk cuma membuka sloof gerbang itu. Banyak pihak yang mengutuk RUU TPKS dengan dalih jenis-jenis; salah satunya menuduh RUU TPKS memberlakukan zina dan LGBT. Walaupun, berdasarkan Himas, pernyataan seperti itu tak masuk nalar. Situasi LGBTIQ yang sudah direpresi pelbagai undang-undang peraturan di Indonesia justru yakni pertanda bahwa LGBTIQ dikriminalisasi, sangat berkebalikan dengan kata legalisasi.
Bagi Himas, RUU TPKS lebih pas dianggap sebagai rancangan untuk memanusiakan manusia, sehingga segala manusia; terlepas dari apa bahkan identitas gender serta orientasi seksualnya, sanggup mendapatkan perlindungan yang seimbang dari ancaman kekerasan seksual.
“Masih banyak stigma kepada RUU TPKS jika ngelegalin zina, LGBT, dan sebagainya, dilegalin gimana? Orang telah dikriminalisasi juga. Enggak dilegalin, tetapi dikala kita lebih dapat memanusiakan manusia dan RUU TPKS melindungi LGBTIQ dari kekerasan seksual yang dialami LGBTIQ,”
“Banyak sahabat-sahabat lesbian yang sengaja diperkosa sama keluarganya sendiri, biar “jadi” menyenangi cowok, itu jahat banget, tetapi enggak kecatat sebab ada embel-embel lesbiannya dan atas nama terapi konversi yang hakekatnya dilarang. Yang perempuan cis-gender telah sulit dapet perhatian aparat apalagi lesbian atau kawan-kawan transpuan yang diperkosa biar jadi laki-laki,” pungkas Himas.
Semenjak diusulkan Komnas Perempuan pada 2012, RUU TPKS (sebelumnya RUU PKS) telah sebagian kali keluar-masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Menginjak umur ke sepuluh, RUU ini sudah mengalami pemangkasan definisi slot bet kecil pelecehan seksual dari 15 ragam, lalu dipangkas menjadi 9 ragam, dan pada 2021 dipotong kembali menjadi 4 ragam pelecehan seksual sekalian berubah nama menjadi RUU TPKS yang masuk Prolegnas 2022 dan diinginkan dapat langsung dilegalkan.